Jumat, 18 September 2009

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MENINGITIS

I. DEFINISI
Merupakan inflamasi yang terjadi pada lapisan arahnoid dan piamatter di otak serta spinal cord. Inflamasi ini lebih sering disebabkan oleh bakteri dan virus meskipun penyebab lainnya seperti jamur dan protozoa juga terjadi. (Donna D.,1999).

II. ETIOLOGI
1. Bakteri
Merupakan penyebab tersering dari meningitis, adapun beberapa bakteri yang secara umum diketahui dapat menyebabkan meningitis adalah :
• Haemophillus influenzae
• Nesseria meningitides (meningococcal)
• Diplococcus pneumoniae (pneumococcal)
• Streptococcus, grup A
• Staphylococcus aureus
• Escherichia coli
• Klebsiella
• Proteus
• Pseudomonas
2. Virus
Merupakan penyebab sering lainnya selain bakteri. Infeksi karena virus ini biasanya bersifat “self-limitting”, dimana akan mengalami penyembuhan sendiri dan penyembuhan bersifat sempurna
3. Jamur
4. Protozoa
( Donna D., 1999)

III. PATHOFISIOLOGI
Agen penyebab

Invasi ke SSP melalui aliran darah

Bermigrasi ke lapisan subarahnoid

Respon inflamasi di piamatter, arahnoid,CSF dan ventrikuler

Exudat menyebar di seluruh saraf cranial dan saraf spinal

Kerusakan neurologist
( Donna D., 1999)
Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur maupun protozoa, point d’entry masuknya kuman juga bisa melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang pecah, penyebab lainnya adalah adanya rinorrhea, otorrhea pada fraktur bais cranii yang memungkinkan kontaknya CSF dengan lingkungan luar.

Meningitis Bakterial
Bakteri penyabab yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitides (meningococcal). Pada lingkungan yang padat seperti lingkungan asrama, barak militer, pemukiman padat lebih sering ditemukan kasus meningococcal meningitis.
Faktor pencetus terjadinya meningitis bacterial diantaranya adalah :
• Otitis media
• Pneumonia
• Sinusitis
• Sickle cell anemia
• Fraktur cranial, trauma otak
• Operasi spinal
Meningitis bakteri juga bisa disebabkan oleh adanya penurunan system kekebalan tubuh seperti AIDS.

Meningitis Virus
Disebut juga dengan meningitis aseptic, terjadi sebagai akibat akhir/sequeledari berbagai penyakit yang disebabakan oleh virus spereti campak, mumps, herpes simplex dan herpes zoster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk exudat dan pada pemeriksaan CSF tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter dan lapisan meninges. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada herpes simplex, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa menyebabkan gangguan produksi enzyme neurotransmitter, dimana hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan neurologist.

Meningitis Jamur
Meningitis cryptococcal merupakan meningitis karena jamur yang paling serimh, biasanya menyerang SSP pada pasien dengan AIDS. Gejala klinisnya bervariasi tergantungdari system kekebalan tubuh yang akan berefek pada respon inflamasi. Gejala klinisnya bia disertai demam atau tidak, tetapi hamper semuaklien ditemukan sakit kepala, nausea, muntah dan penurunan status mental

IV. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi adalah ;
• Gangguan pembekuan darah
• Syok septic
• Demam yang memanjang



V. MANIFESTASI KLINIS
1. Aktivitas / istirahat ;
Malaise, aktivitas terbatas, ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter, kelemahan, hipotonia
2. Sirkulasi ;
Riwayat endokarditis, abses otak, TD ↑, nadi ↓, tekanan nadi berat, takikardi dan disritmia pada fase akut
3. Eliminasi :
Adanya inkontinensia atau retensi urin
4. Makanan / cairan :
Anorexia, kesulitan menelan, muntah, turgor kulit jelek, mukosa kering
5. Higiene :
Tidak mampu merawat diri
6. Neurosensori ;
Sakit kepala, parsetesia, kehilangan sensasi, “Hiperalgesia”meningkatnya rasa nyeri, kejang, gangguan oenglihatan, diplopia, fotofobia, ketulian, halusinasi penciuman, kehilangan memori, sulit mengambil keputusan, afasia, pupil anisokor, , hemiparese, hemiplegia, tanda”Brudzinski”positif, rigiditas nukal, refleks babinski posistif, refkleks abdominal menurun, refleks kremasterik hilang pada laki-laki
7. Neyri / kenyamanan :
Sakit kepala hebat, kaku kuduk, nyeri gerakan okuler, fotosensitivitas, nyeri tenggorokan, gelisah, mengaduh/mengeluh
8. Pernafasan :
Riwayat infeksi sinus atau paru, nafas ↑, letargi dan gelisah
9. Keamanan :
Riwayat mastoiditis, otitis media, sinusitis, infeksi pelvis, abdomen atau kulit, pungsi lumbal, pembedahan, fraktur cranial, anemia sel sabit, imunisasi yang baru berlangsung, campak, chiken pox, herpes simpleks. Demam, diaforesios, menggigil, rash, gangguan sensasi.
10. Penyuluhan / pembelajaran :
Riwayat hipersensitif terhadap obat, penyakit kronis, diabetes mellitus

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan protein.cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
Meningitis bacterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur posistif terhadap beberapa jenis bakteri.
Meningitis Virus : tekanan bervariasi, CSF jernih, leukositosis, glukosa dan protein normal, kultur biasanya negative
Glukosa & LDH : meningkat
LED/ESRD : meningkat
CT Scan/MRI : melihat lokasi lesi, ukuran ventrikel, hematom, hemoragik
Rontgent kepala : mengindikasikan infeksi intrakranial


VII. PRIORITAS MASALAH KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi penyebaran infeksi
2. Resiko tinggi gangguan perfusi serebral
3. Resiko tinggi trauma
4. Nyeri
5. Gangguan mobilitas fisik
6. Gangguan persepsi sensori
7. Cemas
8. Kurang pengetahuan mengenai penyebab infeksi dan pengobatan

VIII. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
( ada pada lampiran)

RINGKASAN TUTORIAL DISKUSI
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MENINGITIS

Nama : Umi Eliawati
NPM : 1302220712
Kelompok : II
Tutor : Ibu Tuti Herawati, SKp.

Klasifikasi Meningitis :
• Purulenta & Serosa
Purulenta : penyebabnya adalah bakteri ( misalnya : Pneumococcus, Meningococcus ), menghasilkan exudat. Leukosit, dalam hal ini Neutrofil berperan dalam menyerang mikroba, neutrofil akan hancur menghasilkan exudat.
Serosa : penyebabya seperti mycobacterium tuberculosa & virus, terjadi pada infeksi kronis. Peran limfosit & monosit dalam melawan mikroba dengan cara fagositosis, tidak terjadi penghancuran, hasilnya adalah cairan serous
• Aseptik & Septik
Aseptik : Bila pada hasil kultur CSF pada pemeriksaan lumbal pungsi, hasilnya negative, misalkan penyebabnya adalah virus.
Septik : Bila pada hasil kultur CSF pada pemeriksaan kultur lumbal pungsi hasilnya positif , misalkan penyebabnya adalah bakteri pneumococcus.

Faktor resiko terjadinya meningitis :
1. Infeksi sistemik
Didapat dari infeksi di organ tubuh lain yang akhirnya menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya otitis media kronis, mastoiditis, pneumonia, TBC, perikarditis, dll.
2. Trauma kepala
Bisanya terjadi pada trauma kepala terbuka atau pada fraktur basis cranii yang memungkinkan terpaparnya CSF dengan lingkungan luar melalui othorrhea dan rhinorhea
3. Kelaianan anatomis
Terjadi pada pasien seperti post operasi di daerah mastoid, saluran telinga tengah, operasi cranium

Terjadinya pe ↑ TIK pada meningitis, mekanismenya adalah sebagai berikut :
Agen penyebab → reaksi local pada meninges → inflamasi meninges → pe ↑ permiabilitas kapiler → kebocoran cairan dari intravaskuler ke interstisial → pe ↑ volume cairan interstisial → edema → Postulat Kellie Monroe, kompensasi tidak adekuat → pe ↑ TIK

Pada meningitis jarang ditemukan kejang, kecuali jika infeksi sudah menyebar ke jaringan otak, dimana kejang ini terjadi bila ada kerusakan pada korteks serebri pada bagian premotor.
Kaku kuduk pada meningitis bisa ditemukan dengan melakukan pemeriksaan fleksi pada kepala klien yang akan menimbulkan nyeri, disebabkan oleh adanya iritasi meningeal khususnya pada nervus cranial ke XI, yaitu Asesoris yang mempersarafi otot bagian belakang leher, sehingga akan menjadi hipersensitif dan terjadi rigiditas.
Sedangan pada pemeriksaan Kernigs sign (+) dan Brudzinsky sign (+) menandakan bahwa infeksi atau iritasi sudah mencapai ke medulla spinalis bagian bawah.

Hidrosefalus pada meningitis terjadi karena mekanisme sebagai berikut :
Inflamasi local → scar tissue di daerah arahnoid ( vili ) → gangguan absorbsi CSF → akumulasi CSF di dalam otak → hodosefalus

Perbedaan Ensefalitis dengan meningitis :
Ensefalitis Meningitis
Kejang Kaku kuduk
Kesadaran ↓ Kesadaran relative masih baik
Demam ↓ Demam ↑
Bila gejala yang muncul campuran kemungkinan mengalami Meningo-ensefalitis.

Penatalaksanaan medis meningitis :
1. Antibiotik sesuai jenis agen penyebab
2. Steroid untuk mengatasi inflamasi
3. Antipiretik untuk mengatasi demam
4. Antikonvulsant untuk mencegah kejang
5. Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa dipertahankan
6. Pembedahan : seperti dilakukan VP Shunt ( Ventrikel Peritoneal Shunt )

HEMOROID

A. PENGERTIAN

Hemoroid adalah varikositis akibat dilatasi pleksus vena hemoroidalis interna ( Underwood, J.C.E; 1999 ).
Hemoroid adalah vena yang berdilatasi dalam kanal anal ( Smeltzer Suzanne C; 2001 ).

B. ETIOLOGI
Beberapa faktor etiologi menurut Sylvia Anderson P. (1994) adalah sebagai berikut :
1. Konstipasi/diare
2. Sering mengejan
3. Kongesti pelvia pada kehamilan
4. Pembesaran prostat
5. Fibroama uteri
6. Tumor rectum
7. Penyakit hati kronik yang disertai hipertensi portal.

C. PATOFISIOLOGI
Hemoroid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan gangguan balik dari vena hemoroidalis
Hemoroid ada dua jenis yaitu hemoroid interna dan eksterna. Hemoroid interna terjadi varises pada vena hemoroidalis superior media dan timbul disebelah dalam otot spingter ani. Hemoroid eksterna terjadi varises pada vena hemoroidalis inferior, dan timbul disebelah luar otot spingter ani.
Hemoroid eksterna ada dua klasifikasi yaitu akut dan kronik. Bentuk akut berupa pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus dan sebenarnya merupakan hematoma, walaupun disebut sebagai hemoroid trombosis akut. Bentuk terasa sangat nyeri gatal karena ujung saraf pada kulit merupakan reseptor nyeri. Hemoroid eksterna kronik (skin tag) berupa satu atau lebih lipatan kulit anus yang terdiri dari jaringan penyambung dan sedikit pembuluh darah.
Hemoroid interna diklasifikasikan sebagai derajat I, II, dan III. Hemoroid interna derajat I tidak menonjol melalui anus dan dapat ditemukan dengan proktoskopi. Lesi biasanya terletak pada posterior kanan dan kiri dan anterior kanan, mengikuti penyebaran cabang-cabang vena hemoroidalis superior, dan tampak sebagai pembengkakan globular kemerahan. Hemoroid interior derajat II dapat mengalami prolapsus melalui anus setelah defekasi, hemoroid ini dapat mengecil secara spontan atau dapat direduksi secara manual. Hemoroid interna derajat III mengalami prolapsus secara permanen. Gejala hemoroid interna yang paling sering adalah perdarahan tanpa nyeri karena tidak ada serabut-serabut nyeri pada daerah ini. Kebanyakan kasus hemoroid adalah hemoroid campuran interna dan eksterna.
Komplikasi hemoroid yang paling sering adalah perdaraha, trombosis, dan stranggulasi. Hemoroid yang mengalami stranggulasi adalah hemoroid yang mengalami prolapsus dimana suplai darah dihalangi oleh sfingter ani.
Kebanyakan penderita hemoroid tidak memerlukan pembedahan. Pengobatan berupa kompres duduk atau bentuk pemanasan basah lain, dan penggunaan supositoria. Eksisi bedah dapat dilakukan bila perdarahan menetap, terjadi prolapsus, atau pruritus dan nyeri anus tidak dapat diatasi.





D. PATHWAY KEPERAWATAN












E. PENGKAJIAN
1. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan diambil untuk menentukan adanya rasa gatal, rasa terbakar, dan nyeri beserta karakteristiknya. Apakah terjadi selama defekasi ?, Berapa lama nyeri tersebut ? adakah nyeri abdomen yang berhubungan dengan hal itu ?, Apakah terdapat perdarahan dari rectum ?, Seberapa banyak ?, Seberapa sering ?, Apakah warnanya ?, Adakah cairan lain seperti mucus atau pus ?, Pertanyaan lain berhubung dengan pola eliminasi dan penggunaan laksatif, riwayat diet, masukan serat, jumlah latihan, tingkat aktifitas, dan pekerjaan.

2. Pengkajian Objektif
Pengkajian objektif mencakup menginspeksi feses akan adanya darah atau mucus, dan area perineal akan adanya hemoroid, fisura, iritasi, atau pus.

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan yang utama adalah sebagai berikut :
1. Konstipasi berhubungan dengan mengabaikan dorongan untuk defekasi akibat nyeri selama defekasi.
2. Ansietas berhubungan dengan rencana pembedahan.
3. Nyeri berhubungan dengan iritasi, tekanan, dan sensitifitas pada area rectal/anal sekunder akibat penyakit hemoroid dan spasme sfingter pada pasca operatif.
4. Perubahan eliminasi urinarius berhubungan dengan rasa takut nyeri pada pasca operatif.
5. Risiko ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik.
Masalah kolaboratif yang mungkin muncul adalah Potensial Komplikasi (PK) hemoragi.
G. PERENCANAAN
1. Tujuan
Tujuan utama adalah sebagai berikut :
a. Menghilangkan konstipasi
b. Menurunkan ansietas
c. Menghilangan nyeri
d. Meningkatkan eliminasi urinarius
e. Klien patuh dengan program terapeutik
f. Mencegah terjadinya komplikasi

2. Intervensi Keperawatan
a. Menghilangkan Konstipasi
1) Masukan cairan sedikitnya 2 liter sehari untuk memberikan hidrasi yang adekuat.
2) Anjurkan makan tinggi serat untuk melancarkan defekasi.
3) Berikan laksatif sesuai resep.
4) Pasien dianjurkan untuk miring guna merangsang usus dan merangsang keinginan defekasi sebisa mungkin.
5) Menganjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum defekasi akan membantu merilekskan otot-otot perineal abdomenyang kemungkinan berkonstriksi atau mengalami spasme abdomen.
b. Menurunkan Ansietas
1) Identifikasi kebutuhan psikologis khusus dan rencana asuhan yang bersifat individu.
2) Berikan privasi dengan membatasi pengunjung bila pasien menginginkannya.
3) Pertahankan privasi klien saat memberikan tindakan keperawatan.
4) Berikan pengharum ruangan bila balutan berbau menyengat.
c. Menghilangkan Nyeri
1) Dorong klien untuk memilih posisi nyaman.
2) Berikan bantalan flotasi dibawah bokong pada saat duduk dapat membantu menurunkan nyeri.
3) Berikan salep analgesik sesuai resep untuk menurunkan nyeri.
4) Berikan kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi dan meringankan jaringan yang teriritasi.
5) Berikan rendaman duduk tiga atau empat kali sehari untuk menghilangkan rasa sakit dan nyeri dengan merelakskan spasme sfingter.
6) Berikan agen anaestetik topical sesuai resep untuk menghilangkan iritasi local dan rasa sakit.
7) Anjurkan klien melakukan posisi telungkup dengan interval tertentu untuk meningkatkan drainase dependen cairan edema.
d. Meningkatkan Eliminasi Urinarius
1) Tingkatkan masukan cairan
2) Bantu klien untuk mendengarkan aliran air
3) Bantu klien meneteskan air diatas meatus urinarius
4) Lakukan pemasangan kateter
5) Pantau haluaran urin dengan cermat setelah pembedahan.
e. Pemantauan dan Pelaksanaan Komplikasi
1) Periksa dengan sering daerah operasi terhadap munculnya perdarahan rectal.
2) Kaji indicator sistemik perdarahan berlebihan (takikardia, hipotensi, gelisah, haus).
3) Hindari pemberian panas basah karena dapat menyebabkan dilatasi dan perdarahan.
f. Pendidikan pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah.
1) Instruksikan klien untuk mempertahankan kebersihan area perianal.
2) Dorong pasien untuk berespon dengan cepat ketika dorongan defekasi muncul, untuk mencegah konstipasi.
3) Instruksikan klien untuk diet tinggi cairan dan serat.
4) Pasien diinformasikan untuk diet yang ditentukan, laksatif yang dapat digunakan dengan aman, dan pentingnya latihan.
5) Dorong klien untuk ambulasi sesgera mungkin, anjurkan latihan tingkat sedang.
6) Ajarkan cara melakukan rendam duduk pada klien setiap setelah defgekasi selama 1 sampai 2 minggu setelah pembedahan.

H. EVALUASI
Hasil yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1. Mendapatkan pola eliminasi normal.
a. Menyusun waktu untuk defekasi, biasanya setelah makan atau setelah tidur.
b. Berespon terhadap dorongan untuk defekasi dan menyediakan waktu untuk duduk ditoilet dan mencoba untuk defekasi.
c. Menggunakan latihan relaksasi sesuai kebutuhan.
d. Menambah makanan tinggi serat pada diet.
e. Meningkatkan masukan cairan sampai 2 L/24 jam.
f. Melaporkan penurunan ketidaknyamanan pada abdomen.
2. Mengalami sedikit ansietas.
3. Mengalami nyeri sedikit.
a. Mengubah posisi tubuh dan aktifitas untuk meminimalkan nyeri dan ketidaknyamanan. Menyusun waktu untuk defekasi, biasanya setelah makan atau pada waktu tidur.
b. Menepapkan kompres hangat/dingin pada area rectal / anal.
c. Melakukan rendam duduk 3 atau 4 kali sehari.
4. Mentaati program terapeutik.
a. Mempertahankan area perianal kering.
b. Mengalami feses lunak dan berbentuk secara teratur.
5. Bebas dari masalah perdarahan
a. Insisi bersih
b. Menunjukkan tanda vital normal
c. Menunjukkan tidak ada tanda hemoragi.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer Suzanne C., Bare Brenda G.; ( 2001 ); Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth; edisi 8; alih bahasa; Monica Ester, et al; Jakarta; EGC.
Price Sylvia A., Wilson Lorraine M.;( 1994 );Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit; jilid 1; edisi 8; alih bahasa; Peter Anugerah, Jakarta, EGC.
Carpenito Lynda Juall; ( 1997 ); Diagnosa Keperawatan Buku Saku; edisi 6; alih bahasa; Yasmin Asih; Jakarta; EGC.
Robbins, Stanley L;(1995); Buku Ajar Patologi II (Basic Pathology); alih bahasa, staf pengajar laboratorium patologi anatomi FK UNAIR; Jakarta; EGC
Underwood, J.C.E; (1999) Patologi Umum dan Sistematik; vol.2; ed.2; editor edisi bahasa Indonesia, Sarjadi dkk; Jakarta; EGC

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TRAUMA KEPALA

A. Prinsip - Prinsip pada Trauma Kepala
 Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai daya elastisitas untuk mengatasi adanya pukulan.
 Bila daya/toleransi elastisitas terlampau akan terjadi fraktur.
 Berat/ringannya cedera tergantung pada :
1. Lokasi yang terpengaruh :
 Cedera kulit.
 Cedera jaringan tulang.
 Cedera jaringan otak.
2. Keadaan kepala saat terjadi benturan.
 Masalah utama adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (PTIK)
 TIK dipertahankan oleh 3 komponen :
1. Volume darah /Pembuluh darah ( 75 - 150 ml).
2. Volume Jaringan Otak (. 1200 - 1400 ml).
3. Volume LCS ( 75 - 150 ml).


Trauma kepala



Kulit Tulang kepala Jaringan otak


Fraktur - Komusio
 Fraktur linear. - Edema
 Fraktur comnunited - Kontusio
 Fraktur depressed - Hematom
 Fraktur basis




TIK meningkat
 Gangguan kesadaran
 Gangguan tanda-tanda vital
 Kelainan neurologis



B. Etiologi
1. Kecelakaan
2. Jatuh
3. Trauma akibat persalinan.


C. Patofisiologi


Cidera Kepala

Cidera otak primer Cidera otak sekunder


 Kontosio
 Laserasi Kerusakan sel otak Respon biologik


Sembuh Gangguan aliran darah otak TIK meningkat :
 Edema
 Hematom
 Metabolisme anaerobik
 Hipoximia


Respon biologik


Gejala :
1. Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat.
2. Muntah proyektil.
3. Papil edema.
4. Kesadaran makin menurun.
5. Perubahan tipe kesadaran.
6. Tekanan darah menurun, bradikardia.
7. An isokor.
8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.













Trauma Kepala


Gangguan auto regulasi


TIK meningkat Aliran darah otak menurun


Edema otak Gangguan metabolisme
 O2 menurun.
 CO2 meningkat.
Asam laktat meningkat

Metabolik anaerobik


Tipe Trauma kepala :
1. Trauma kepala terbuka.
2. Trauma kepala tertutup.

Trauma kepala terbuka :
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai :
 Merobek duramater -----LCS merembes.
 Saraf otak
 Jaringan otak.

Gejala fraktur basis :
 Battle sign.
 Hemotympanum.
 Periorbital echymosis.
 Rhinorrhoe.
 Orthorrhoe.
 Brill hematom.



Trauma Kepala Tertutup :
1. Komosio
2. Kontosio.
3. Hematom epidural.
4. Hematom subdural.
5. Hematom intrakranial.

Komosio / gegar otak :
 Cidera kepala ringan
 Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
 Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit.
 Tanpa kerusakan otak permanen.
 Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
 Disorientasi sementara.
 Tidak ada gejala sisa.
 MRS kurang 48 jam ---- kontrol 24 jam I , observasi tanda-tanda vital.
 Tidak ada terapi khusus.
 Istirahat mutlak ---- setelah keluhan hilang coba mobilisasi bertahap, duduk --- berdiri -- pulang.
 Setelah pulang ---- kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup.

Kontosio Cerebri / memar otak :
 Ada memar otak.
 Perdarahan kecil lokal/difus ---- gangguan lokal --- perdarahan.
 Gejala :
- Gangguan kesadaran lebih lama.
- Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi.
- Gejala TIK meningkat.
- Amnesia retrograd lebih nyata.

Hematom Epidural :
 Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.
 Lokasi tersering temporal dan frontal.
 Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.
 Katagori talk and die.
 Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).
- Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit - beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.

Hematom Subdural :
 Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
 Biasanya pecah vena --- akut, sub akut, kronis.
 Akut :
- Gejala 24 - 48 jam.
- Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata.
- PTIK meningkat.
- Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.

 Sub Akut :
- Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK meningkat --- kesadaran menurun.

 Kronis :
- Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan.
- Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.
- Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.

Hematom Intrakranial :
 Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih.
 Selalu diikuti oleh kontosio.
 Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi mendadak.
 Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal.




Pengaruh Trauma Kepala :
 Sistem pernapasan
 Sistem kardiovaskuler.
 Sistem Metabolisme.

Sistem Pernapasan :
TIK meningkat

Hipoksemia, hiperkapnia Meningkatkan rangsang simpatis


Peningkatan hambatan difusi O2 - Co2.


Edema paru Meningkatkan tahanan vask. sistemik dan tek darah


Meningkatkan tek, hidrostatik
Kebocoran cairan kapiler


Sistem pembuluh darah pulmonal tek. rendah.

Karena adanya kompresi langsung pada batang otak ---- gejala pernapasan abnormal :
 Chyne stokes.
 Hiperventilasi.
 Apneu.

Sistem Kardivaskuler :
 Trauma kepala --- perubahan fungsi jantung : kontraksi, edema paru, tek. Vaskuler.
 Perubahan saraf otonoom pada fungsi ventrikel :
- Disritmia.
- Fibrilasi.
- Takikardia.
 Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis --- terjadi penurunan kontraktilitas ventrikel. ---- curah jantung menurun --- menigkatkan tahanan ventrikel kiri --- edema paru.

Sistem Metabolisme :
 Trauma kepala --- cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen.
 Dalam keadaan stress fisiologis.

Trauma

ADH dilepas

Retensi Na dan air

Out put urine menurun
Konsentrasi elektrolit meningkat

 Normal kembali setelah 1 - 2 hari.
 Pada keadaan lain :

Fraktur Tengkorak Kerusakan hipofisis
Atau hipotalamus


Penurunan ADH Diabetes Mellitus

Ginjal

Ekskresi air Dehidrasi


Hilang nitrogen meningkat ------------ respon metabolik terhadap trauma.

Trauma


Tubuh perlu energi untuk perbaikan


Nutrisi berkurang

Penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama.

]
Pengaruh Pada G.I Tract. :
3 hari pasca trauma --- respon tubuh merangsang hipotalamus dan stimulus vagal.

Lambung hiperacidi





Hipotalamus ------ hipofisis anterior

Adrenal

Steroid

Peningkatan sekresi asam lambung

Hiperacidi
Trauma

Stress Perdarahan lambung


Katekolamin meningkat.



Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut :
1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penagnggung jawab, dll.
2. Riwayat Kesehatan :
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala, datang ke rumah sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah, dispnea/takipnea, sakit kepala, wajah tidak simestris, lemah, paralise, hemiparise, luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga, dan adanya kejang.
Riwayat penyakit dahulu :
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dnegan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga, terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi pronosa pasien.
3. Pemeriksaan Fisik :
Aspek Neurologis :
Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese.
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat mempertajhankana keseimabangan tubuh.
Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang pandang, refleks cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah dahi. Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.
Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
Aspek Kardiovaskuler :
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki.
Aspek sistem pernapasan :
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething), bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.
Aspek sistem eliminasi :
Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak terdengar/lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan.

Glasgow Coma Scale :
I. Reaksi Membuka Mata.
4. Buka mata spontan.
3. Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara.
2. Buka mata bila dirangsang nyeri.
1.Tidak reaksi dengan rangsangan apapun.

II. Reaksi Berbicara
4. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat.
3. Bingung, disorentasi waktu, tempat dan person.
2. Dengan rangsangan, reaksi hanya berupa kata tidak membentuk kalimat.
1. Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun.

III. Reaksi Gerakan Lengan / Tungkai
6. Mengikuti perintah.
5. Dengan rangsangan nyeri dapat mengetahui tempat rangsangan.
4. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan.
3. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal.
2. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi extensi abnormal.
1. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

4. Pengkajian Psikologis :
Dimana pasien dnegan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan orang-orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma kepala dan rasa aman.


5. Data spiritual :
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran.

6. Pemeriksaan Diagnostik :
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis adalah :
 X-Ray tengkorak.
 CT-Scan.
 Angiografi.

7. Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala :
Obat-obatan :
 Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.
 Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
 Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
 Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
 Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
 Pembedahan.








Prioritas Diagnosa Keperawatan :
1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan peredaran darah karena adanya penekanan dari lesi (perdarahan, hematoma).
2. Potensial atau aktual tidak efektinya pola pernapasan, berhubungan dengan kerusakan pusat pernapasan di medulla oblongata.
3. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.
4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dnegan penurunan produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus.
5. Aktual/Potensial terjadi gangguan kebutuhannutrisi : Kurang dari kebutuhan berhubungan dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran.
6. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring.
7. Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan daya penangkapan sensoris.
8. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dnegan masuknya kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak.
9. Gangguan rasa nyaman : Nyeri kepala berhubunagn dnegan kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/peningkatan tekanan intrakranial.
10. Gangguan rasa aman : Cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis.

Intervensi :
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab coma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
2. Monitor GCS dan mencatatnya.
R/ Menganalisa tingkat kesadaran dan kemungkinan dari peningkatan TIK dan menentukan lokasi dari lesi.
3. Memonitor tanda-tanda vital.
R/ Suatu kedaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari outoregulator kebanyakan merupakan tanda penurun difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diatolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intra kranial. Hipovolumik/hipotensi merupakan manifestasi dari multiple trauma yang dapat menyebabkan ischemia serebral. HR dan disrhytmia merupakan perkembangan dari gangguan batang otak.
4. Evaluasi pupil.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Keseimbangan saraf antara simpatik dan parasimpatik merupakan respon reflek nervus kranial.
5. Kaji penglihatan, daya ingat, pergerakan mata dan reaksi reflek babinski.
R/ Kemungkinan injuri pada otak besar atau batang otak. Penurunan reflek penglihatan merupakan tanda dari trauma pons dan medulla. Batuk dan cekukan merupakan reflek dari gangguan medulla.Adanya babinski reflek indikasi adanya injuri pada otak piramidal.
6. Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
R/ Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2 akan menunjang peningkatan ICP.
7. Monitor intake, dan output : catat turgor kulit, keadaa membran mukosa.
R/ Indikasi dari gangguan perfusi jaringan trauma kepala dapat menyebabkan diabetes insipedus atau syndroma peningkatan sekresi ADH.
8. Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dnegan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang banyak pada kepala.
R/ Arahkan kepala ke salah datu sisi vena jugularis dan menghambat drainage pada vena cerebral dan meningkatkan ICP.
9. Berikan periode istirahat anatara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
R. Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan ICP oleh efek rangsangan komulatif.
10. Kurangi rangsangan esktra dan berikan rasa nyaman seperti massage punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenag (colming efek) dapat mengurangi respon psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan/ICP yang rendah.
11. Bantu pasien jika batuk, muntah.
R/ Aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak/tekanan dalam torak dan tekanan dalam abdomen dimana akitivitas ini dapat meningkatkan tekanan ICP.
12. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.
R/ Tingkah non verbal ini dpat merupakan indikasi peningkatan ICP atau memberikan reflek nyeri dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatakan ICP.
13. Palpasi pada pembesaran/pelebaran blader, pertahankan drainage urin secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/ Dapat meningkatkan respon automatik yang potensial menaikan ICP.
Kolaborasi :
14. Naikkan kepala pada tempat tidur/bed 15 - 45 derajat sesuai dengan tolenransi/indikasi.
R/ Peningkatan drainage/aliran vena dari kepala, mengurangi kongesti cerebral dan edema/resiko terjadi ICP.
15. Berikan cairan intra vena sesuai dengan yang dindikasikan.
R/ Pemberian cairan mungkin diinginkan untuk menguransi edema cerebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan ICP.
16. Berikan Oksigen.
R/ Mengurangi hipoxemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi cerebral dan volume darah dan menaikkan ICP.
17. Berikan obat Diuretik contohnya : mannitol, furoscide.
R/ Diuretik mungkin digunakan pada pase akut untuk mengalirkan air dari brain cells, dan mengurangi edema cerebral dan ICP.
18. Berikan Steroid contohnya : Dextamethason, methyl prednisolone.
R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
19. Berikan analgesik dosis tinggi contoh : Codein.
R/ Mungkin diindikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif pada ICP tetapi dapat digunakan dengan sebab untuk mencegah.
20. Berikan Sedatif contoh : Benadryl.
R/ Mungkin digunakan untuk mengontrol kurangnya istirahat dan agitasi.
21. Berikan antipiretik, contohnya : aseptaminophen.
R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.












DAFTAR PUSTAKA





Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed.2. Jakarta : EGC.

Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. (1999). Penatalaksanaan Pada Kasus Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang bedah. Tidak dipublikasikan.

Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Kperawatan). Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Bandung.

Makalah Kuliah Medikal bedah PSIK FK Unair Surabaya. Tidak Dipublikasikan

Reksoprodjo, S. dkk. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina rupa Aksara.

Rothrock, J.C. (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta : EGC.

Tucker, S.M. (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi. Ed. 1 . Jakarta : ECG.

Konsep Katarak

1. Pengertian
Katarak adalah : kekeruhan pada lensa tanpa nyeri yang berangsur-angsur, penglihatan kabur akhirnya tidak dapat menerima cahaya (Barbara

2. Etiologi
 Ketuaan, biasanya dijumpai katarak senilis.
 Trauma, terjadi karena pukulan benda tumpul /tajam terpapar oleh sinar X atau benda-benda radioaktif.
 Penyakit mata seperti Uveitis
 Penyakit sistemik seperti DM.
 Defek congenital.

3. Fisiologi Lensa Mata
Fungsi lensa mata memfokuskan sinar pada retina. Pada saat itu kekuatan refraksi lensa berubah sesuai dengan kebutuhan sehingga sinar dapat difokuskan pada retina. Perubahan kekuatan retraksi disebut akomodasi.
2 (dua) faktor yang menentukan dalam akomodasi yaitu:
a. Kemampuan lensa untuk berubah bentuk (menjadi lebih cembung)
b. Kekuatan dari muskulus siliaris.
Bila muskulus siliaris relaks, zonula zinn menjadi tegang, diameter antara posterior lensa menjadi lebih pendek dan kekuatan refraksi berkurang. Sebaliknya bila muskulus siliaris kontraksi maka ketegangan zonula zinn berkurang, sehingga bentuk lensa menjadi lebih cembung dan kekuatan refraksi bertambah.

4. Patofisiologi
Dalam keadaan normal transfaransi lensa terjadi karena adanya keseimbangan antara protein yang dapat larut dengan protein yang tidak dapat larut dalam membran sesemi permeable. Apabila terjadi peningkatan jumlah protein yang tidak dapat diserap, mengakibatkan jumlah protein dalam lensa melebihi jumlah protein pada bagian lain sehingga membentuk massa transparan ataubbintik kecil di sekitar lensa, membentuk suatu kapsul yang dikenal dengan katarak.
Terjadinya penumpukan cairan / degenasi dan desintegrasi pada serabut tersebut menyebabkan jalannya cahayanya terhambat dan mengakibatkan gangguan penglihatan.




























5. Pembagian katarak
1) Katarak Congenital
Pada umumnya bilateral. Banyak disebabkan oleh virus rubella pada trimester I kehamilan bila pada pemeriksaan positif rubella, maka operasi sebaiknya ditunda sampai umur 2 tahun karena virus masih aktif di dalam lensa. Kalau di operasi akan terjadi endoftalmitis dan mata akan menjadi rusak. Bila kekeruhan bilateral segera lakukan operasi satu mata dulu kurang dari 6 bulan untuk membentuk visus normal. Sedangkan mata satunya dapat dioperasi setelah umur 2 tahun.
2) Katarak Jevenil
Katarak yang terjadi pada anak-anak sesudah lahir. Katarak ini termasuk ke dalam development cataract, yaitu kekeruhan lensa yang terjadi pada saat masih terjadi perkembangan serat – serat lensa sehingga biasanya konsistensinya lembek seperti bubur dan disebut soft cataract. Biasanya katarak juvenil merupakan bagian dari suatu kejadian penyakit keturunan lain.
3) Katarak Senil
Katarak senile ada hubungannya dengan pertambahan umur dan berkaitan dengan proses ketuaan yang terjadi di dalam lensa. Perubahan yang tampak adalah bertambah tebalnya nucleus dengan berkembangnya lapisan kortek lensa.
Secara klinik / proses ketuaan lensa sudah tampak pada pengurangan kekuatan akomodasi lensa akibat terjadinya skelerosa lensa yang timbul pada decade 4 yang dimanifestasi dalam bentuk presbiopia.
a. Katarak insipien
Katarak yang tidak seperti bercak-bercak yang membentuk gerigi dengan dasar perifer dan daerah jernih diantaranya. Kekeruhan biasanya terletak di korteks nterior atau posterior. Kekeruhan ini pada permulaan hanya tampak bila pupil dilebarkan.
Pada stadium ini terdapat keluhan polidiopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bila dilakukan tes bayangan iris (shadow test) akan negatif.
b. Katarak imatur
Pada stadium yang lebih lanjut maka akan terjadi kekeruhan yang lebih tebal. Tetapi tidak atau belum mengenal seluruh lensa sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih pada lensa. Pada stadium ini terjadi hydras korteks yang mengakibatkan lensa menjadi bertambah cembung. Pencembungan lensa ini akan memberikan perubahan indeks refraksi dimana mata akan menjadi myopia. Kecembungan ini akan mengakibatkan pendorongan iris ke depan sehingga bilik mata depan dan sudut bilik mata depan akan lebih sempit.
Pada stadium ini akan mudah terjadi glaucoma sebagai penyulit. Stadium imatur dimana terjadi kecembungan lensa akibat menyerap air disebut stadium intumesen. Shadow test pada keadaan ini positif.
c. Katarak matur
Bila proses degenerasi berjalan terus maka akan terjadi pengeluaran air bersama-sama hasil desintegrasi melalui kapsul. Lensa kehilangan cairan sehingga mengkerut lagi dan kamera okuli anterior menjadi normal kembali. Kekeruhan lensa sudah menyeluruh warna putih keabu-abuan. Pada pemeriksaan iris shadow negatif dan fundus refleks negatif.
Pada stadium ini saat yang baik untuk operasi dengan tehnik intra kapsuler (Tehnik Lama).
d. Katarak hipermatur
Merupakan proses degenerasi lanjut lensa sehingga korteks lensa mencair dan dapat keluar melalui kapsul lensa.
Dapat terjadi 2 kemungkinan :
• Lensa menjadi kehilangan cairannya terus sehingga mengkerut dan menipis disebut SHRUNKEN KATARAK.
• Korteks lensa melunak dan mencair, sedangkan nucleus tidak mengalami perubahan, akibatnya nucleus jatuh disebut MORGANIAN KATARAK. Operasi pada saat ini kurang menguntungkan karena lebih mudah terjadi komplikasi.

Katarak senile :
o Paling sering dijumpai
o Biasanya umur lebih dari 50 tahun, tapi kadang-kadang mulai umur 40 tahun
o Hampir selalu mengenai kedua mata dengan stadium yang berbeda. Kekeruhan dapat dimulai dari perifer kortek atau sekitar nucleus.
o Gejala utama adalah penglihatan makin lama makin kabur. Sejak mulainya terjadi kekeruhan sampai matur dibutuhkan waktu beberapa tahun.
o Reaksi pupil terhadap cahaya normal.

6. PEMERIKSAAN
1) Visus menurun bergantung pada :
2) Tak ada tanda-tanda radang (hyperemia tak ada)
3) Iluminasi oblik tampak kekeruhan yang keabu-abuan atau putih dengan bayangan hitam disebut iris shadow.
4) Pemeriksaan dengan optalmoskop tampak warna hitam diatas dasar orange disebut fundus reflek.
5) Pada katarak yang lebih lanjut, kekeruhan bertambah sehingga iris shadow menghilang dan fundus reflek menjadi hitam saja (negatif).

7. PENGOBATAN KATARAK
Apabila penderita masih dapat dikoreksi kacamata, maka diberikan dahulu kacamata. Akan tetapi ukuran kacamata penderita biasanya sangat mudah / cepat berubah. Pengobatan yang paling baik dan tepat saat ini adalah operasi.
Indikasi operasi yaitu :
1) Visus yang menurun yang tak dapat dikoreksi dengan kacamata dan mengganggu aktifitas.
2) Dahulu penderita dioperasi bila visusnya 1/300 s/d tak terhingga (LP+).
Akan tetapi dengan kemajuan tehnologi saat ini katarak dapat dioperasi pada stadium apapun, bila penderita sudah terganggu aktivitasnya.

Macam operasi :
1) Intra Capsular :
Intra catarax extraction (ICCE) mengeluarkan lensa secara utuh.
2) Ekstra Capsular :
Extra capsular catarax extraction (ECCE) : mengeluarkan lensa dengan merobek kapsul bagian anterior dan meninggalkan kapsul bagian posterior.
Pada saat ini dimana kemajuan tehnologi yang sudah tinggi, tehnik ECCE lebih disukai karena komplikasinya lebih kecil dan dapat disertai pemasangan lensa implant intra okuler (IOL = intra okuler lens). Sehingga hasil setelah operasi menjadi lebih baik.

Afakia :
o Mata yang lensanya tidak ada (dioperasi atau sebab lain).
o Visus 1/60
o Menjadi hipermetrop (kira-kira + 10.00 D)
o Kehilangan daya akomodasi
o Untuk membaca memerlukan tambahan + 3.00 D

Pseudofkia :
Mata yang lensanya sudah diambil dan dipasang IOL
Visus lebih baik, bisa sampai 6/6
Kehilangan daya akomodasi
Untuk membaca memerlukan tambahan + 3.00 D

Evaluasi sesudah operasi katarak :
Hari 1 sesudah operasi harus sudah dievaluasi yaitu :
1) Perdarahan dibilik mata depan (hifema).
2) Kamera okuli anterior jernih/keruh :
Bila mata depan keruh (flare/sel positif)
o Bilik mata depan keruh (flare /sel positif)
o Mungkin sampai terjadi pengendapan pus di bilik mata depan (hipopion).
o Iris miossi disertai sinekia postrior
3) Perhatikan pupil miosis/midriasis/normal :
o Miosis : biasanya dipergunakan miotikum pada waktu operasi sehingga hari berikutnya pupil menjadi miosis. Miosis ini dapat terjadi bila terjadi uveitis anterior, dan biasanya disertai adanya sinekia posterior.
o Midirasis : dapat terjadi bila ada peningkatan tekanan intra okuler (glaucoma)
o Pupil tidak bulat : terjadi bila pada waktu operasi terjadi korpukasi (korpus viterius keluar).

PENGOBATAN SESUDAH OPERASI KATARAK :
Setelah operasi dapat diberi :
o Kacamata, diberikan bila tanda-tanda iritasi sudah hilang (kurang lebih sesudah 1,5 bulan post op), sudah tidak ada perubahan refraksi (3 x refraksi tiap minggu).
o Lensa Kontak :
Penglihatan lebih baik daripada kacamata, dan dipakai pada operasi katarak unilateral (satu mata).
o Inolan Lensa Intra Okuli (IOL) :
- Implan ini memasukkan ke dalam mata pada saat operasi, menggantikan lensa yang diambil (ECCE).
- Letaknya permanen
- Tidak memerlukan perawatan.
- Visus lebih baik daripada kacamata / lensa kontak.

Kerugian :
o Merupakan benda asing, kemungkinan bereaksi / ditolak oleh tubuh.
o Tehnik operasi lebih sukar/canggih.

A. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
8. PENGKAJIAN PRC OPERATIF
Subyektif : keluhan penglihatan
o Kabur secara total
o Hanya melihat baik pada tempat yang redup
o Hanya dapat melihat rangsangan cahaya saja
o Ganda / majemuk pada satu mata.
Indikator verbal dan non verbal dari ansietas.
Pemahaman tentang pembedahan katarak termasuk :
o Sifat prosedur
o Resiko dan keuntungan
o Obat anestesi
o Pilihan untuk rehabilitasi visual setelah pembedahan, seperti implan lensa intraokuler, kontak lensa dan kacamata katarak (kacamata afakia).
Jumlah informasi yang dicari klien.
Obyektif :
o Tidak terdapat tanda-tanda peradangan kecuali pada katarak komplikata yang penyakit intra okulernya masih aktif.
o Pada pemeriksaan penyinaran lensa tampak kelabu atau kekeruhan yang memutih.
o Pada pemeriksaan optalmoskop pada jarak tertentu didapatkan kekeruhan yang berwarna hitam dengan latar belakang berwarna merah.
o Pada pemeriksaan refraksi meningkat. Pada penderita yang tadinya menderita presbiopia kemudian menderita katarak, pada stadium awal dapat membaca tanpa menggunakan kacamata baca.
o Observasi terjadinya tanda-tanda glaucoma karena komplikasi katarak, tersering adalah glaucoma seperti adanya rasa nyeri karena peningkatan TIO, kelainan lapang pandang.

9. PENGKAJIAN POST OPERASI
a. Data Subyektif
 Nyeri
 Mual
 Diaporesis
 Riwayat jatuh sebelumnya
 Sistem pendukung, lingkungan rumah.
b. Data Obyektif
 Perubahan tanda-tanda vital
 Respon yang lazim terhadap nyeri.
 Tanda-tanda infeksi
1) Kemerahan
2) Oedema
3) Infeksi kojunctiva (pembuluh darah konjunctiva menonjol).
4) Drainase pada kelopak mata dan bulu mata.
5) Zat purulen
6) Peningkatan suhu
7) Nilai lab; peningkatan leukosit, perubahan leukosit, hasil pemeriksaan kultur sensitifitas abnormal.
 Ketajaman penglihatan masing-masing mata
 Kesiapan dan kemampuan untuk belajar dan menyerap informasi

10. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. PRE OPERATIF
1) Gangguan persepsi sensori visual / penglihatan berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan, penglihatan ganda.
Tujuan : gangguan persepsi sensori teratasi.
Kriteria hasil :
o Dengan penglihatan yang terbatas klien mampu melihat lingkungan semaksimal mungkin.
o Mengenal perubahan stimulus yang positif dan negatif
o Mengidentifikasi kebiasaan lingkungan.

INTERVENSI RASIONAL
1. Orientasikan pasien terhadap lingkungan aktifitas.


2. Bedakan kemampuan lapang pandang diantara kedua mata
3. Observasi tanda disorientasi dengan tetap berada di sisi pasien.
4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas sederhana seperti menonton TV, radio, dll
5. Anjurkan pasien menggunakan kacamata katarak, cegah lapang pandang perifer dan catat terjadinya bintik buta.
6. Posisi pintu harus tertutup terbuka, jauhkan rintangan.  Memperkenalkan pada pasien tentang lingkungan dam aktifitas sehingga dapat meninggalkan stimulus penglihatan.
 Menentukan kemampuan lapang pandang tiap mata

 Mengurangi ketakutan pasien dan meningkatkan stimulus.

 Meningkatkan input sensori, dan mempertahankan perasaan normal, tanpa meningkatkan stress.
 Menurunkan penglihatan perifer dan gerakan.



 Menurunkan penglihatan perifer dan gerakan.


2) Cemas berhubungan dengan pembedahan yang akan dijalani dan kemungkinan kegagalan untuk memperoleh penglihatan kembali.
Tujuan : kecemasan teratasi
Kriteria hasil :
Mengungkapkan kekhawatirannya dan ketakutan mengenai pembedahan yang akan dijalani.
Mengungkapkan pemahaman tindakan rutin perioperasi dan perawatan.

INTERVENSI RASIONAL
1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan relaks, berikan dorongan untuk verbalisasi dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
2. Yakinkan klien bahwa ansietas mempunyai respon normal dan diperkirakan terjadi pada pembedahan katarak yang akan dijalani.
3. Tunjukkan kesalahpahaman yang diekspresikan klien, berikan informasi yang akurat.
4. Sajikan informasi menggunakan metode dan media instruksional.

5. Jelaskan kepada klien aktivitas premedikasi yang diperlukan.

6. Diskusikan tindakan keperawatan pra operatif yang diharapkan.
7. Berikan informasi tentang aktivitas penglihatan dan suara yang berkaitan dengan periode intra operatif  Membantu mengidentifikasi sumber ansietas.



 Meningkatkan keyakinan klien



 Meningkatkan keyakinan klien


 Meningkatkan proses belajar dan informasi tertulis mempunyai sumber rujukan setelah pulang.
 Pengetahuan yang meningkat akan menambah kooperatif klien dan menurunkan kecemasan.
 S d a


 Menjelaskan pilihan memungkinkan klien membuat keputusan secara benar.

b. POST OPERATIF
1) Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) berhubungan dengan prosedur invasive.
Tujuan : nyeri teratasi
Kriteria hasil : klien melaporkan penurunan nyeri secara progresif dan nyeri terkontrol setelah intervensi.

INTERVENSI RASIONAL
1. Bantu klien dalam mengidentifikasi tindakan penghilangan nyeri yang efektif.

2. Jelaskan bahwa nyeri dapat terjadi sampai beberapa jam setelah pembedahan.




3. Lakukan tindakan mengurangi nyeri dengan cara:
- Posisi : tinggikan bagian kepala tempat tidur, ganti posisi dan tidur, ganti posisi dan tidur pada sisi yang tidak dioperasi
- Distraksi
- Latihan relaksasi
4. Berikan obat analgetik sesuai program
5. Lapor dokter jika nyeri tidak hilang setelah ½ jam pemberian obat, jika nyeri disertai mual. 1. Membantu pasien menemukan tindakan yang dapat menghilangkan atau mengurangi nyeri yang efektif.
2. Nyeri dapat terjadi sampai anestesi local habis, memahami hal ini dapat membantu mengurangi kecemasan yang berhubungan dengan yang tidak diperkirakan.
3. Latihan nyeri dengan menggunakan tindakan yang non farmakologi memungkinkan klien untuk memperoleh rasa kontrol terhadap nyeri.




4. Analgesik dapat menghambat reseptor nyeri.
5. Tanda ini menunjukkan peningkatan tekanan intra ocular atau komplikasi lain.

2) Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (bedah pengangkatan).
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil :
 Tanda-tanda infeksi tidak terjadi
 Penyembuhan luka tepat waktu
 Bebas drainase purulen , eritema, dan demam

INTERVENSI RASIONAL
1. Tingkatkan penyembuhan luka dengan :
- Beri dorongan untuk mengikuti diet seimbang dan asupan cairan yang adekuat
- Instruksikan klien untuk tetap menutup mata sampai hari pertama setelah operasi atau sampai diberitahukan.
2. Gunakan tehnik aseptic untuk meneteskan tetes mata :
- Cuci tangan sebelum memulai
- Pegang alat penetes agak jauh dari mata.
- Ketika meneteskan hindari kontk antara mata dengan tetesan dan alat penetes.
3. Gunakan tehnik aseptic untuk membersihkan mata dari dalam ke luar dengan tisu basah / bola kapas untuk tiap usapan, ganti balutan dan memasukkan lensa bila menggunakan.
4. Tekankan pentingnya tidak menyentuh / menggaruk mata yang dioperasi.
5. Observasi tanda dan gejala infeksi seperti : kemerahan, kelopak mata bengkak, drainase purulen, injeksi konjunctiva (pembuluh darah menonjol), peningkatan suhu.
6. Anjurkan untuk mencegah ketegangan pada jahitan dengan cara : menggunakan kacamata protektif dan pelindung mata pada malam hari.
7. Kolaborasi obat sesuai indikasi :
- Antibiotika (topical, parental atau sub conjunctiva)
- Steroid  Nutrisi dan hidrasi yang optimal meningkatkan kesehatan secara keseluruhan, meningkatkan penyembuhan luka pembedahan.
 Memakai pelindung mata meingkatkan penyembuhan dan menurunkan kekuatan iritasi kelopak mata terhadap jahitan luka.
 Tehnik aseptic menimalkan masuknya mikroorganisme dan mengurangi infeksi.







 Tehnik aseptic menurunkan resiko penyebaran infeksi/.bakteri dan kontaminasi silang.



 Mencegah kontaminasi dan kerusakan sisi operasi.

 Deteksi dini infeksi memungkinkan penanganan yang cepat untuk meminimalkan keseriusan infeksi.

 Ketegangan pada jahitan dapat menimbulkan interupsi, menciptakan jala masuk untuk mirkoorganisme

 Sediaan topical digunakan secara profilaksis, dimana terapi lebih agresif diperlukan bila terjadi infeksi
 Menurunkan inflamasi

3) Gangguan sensori – perceptual : penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/ status organ indera, lingkugan secara terapeutik dibatasi, ditandai dengan :
 Menurunnya ketajaman, gangguan penglihatan.
 Perubahan respo biasanya terhadap rangsang.
Hasilnya yang diharapkan :
 Meningkatkan ketajaman penglihatn dalam batas situasi individu
 Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan
INTERVENSI RASIONAL
1. tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat
2. orientasi pasien terhadap lingkungan, staf/ orang lain di area
3. observasi tanda-tanda dan gejala-gejala disorientasi, pertahankan pengamanan tempat tidur sampai benar-benar sembuh dari anesthesia.
4. ingatkan klien menggunakan kacamata katarak yang tujuannya memperbesar ± 25%, penglihatan perifer hilang.  Kebutuhan individu dan pilihan intervensi dan pilihan intervensi bervariasi sebab kehilangan penglihatan terjadi lambat dan progresif.
 Memberikan peningkatan kenyamanan dan kekeluargaaan, menurunkan cemas dan disorientasi pasca operasi.
 Terbangun dalam lingkungan yang tak dikenal dan mengalami keterbatasan penglihatan dapat mengakibatkan bingung pada orangtua.
 Perubahan ketajaman dan kedalaman persepsi dapat menyebabkan bingung / meningkatkan resiko cedera sampai pasien belajar untuk mengkompensasi.

4) Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, ditandai dengan klien kurang mengikuti instruksi, sering bertanya terjadi komplikasi yang dapat dicegah.
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan berupa HE diharapkan klien mengerti dengan kondisi, prognosis,dan pengobatan.
Kriteria hasil :
 Dapat melakukan perawatan dengan prosedur yang benar
 Dapat menyembuhkan kembali apa yang telah dijelasakan

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji informasi tentang kondisi individu prognosis tipe prosedur, tipe prosedur lensa.
2. Tekankan pentingnya evaluasi perawatan. Beritahu untuk melaporkan penglihatan berawan.
3. Informasikan kepada klien untuk menghindari tetes mata yang dijual bebas.
4. Dorong pemasukan cairan yang adekuat, makan terserat.
5. Anjurkan klien untuk menghindari membaca, berkedip, mengangkat yang berat, mengejar saat defekasi, membongkok pada panggul, meniup hidung penggunaan spray, bedak bubuk, merokok.  Meningkatkan pemahaman dan kerjasama dengan program pasca operasi
 Pengawasan periodic menurunkan resiko komplikasi serius.
 Dapat bereaksi silang / campur dengan obat yang diberikan.
 Memertahankan konsistensi faeces untuk menghindari mengejan
 Aktifitas yang menyebabkan mata lelah tegang, manuver valsava atau meningkatkan TID dapat mempengaruhi hasil operasi dan mencetuskan perdarahan.
Catatan : iritasi pernapasan yang menyebabkan batuk / bersih dapat meningkatkan TID.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall, (1999), Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Edisi 6, EGC, Jakarta.
Doengoes, Mariyln E., (2000) Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Sidarta Ilyas, (1997), Katarak, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Tamim Radjamin RK, Dkk, (1993), Ilmu Penyakit Mata, Airlangga University Press, Surabaya.

POST OPERASI TUTUP KOLOSTOMI

Post operasi tutup kolostomi merupakan suatu rangkaian tindakan pembedahan pada post kolostomi sementara.

Perjalanan dan riwayat tindakan.
Klien yang mengalami kelainan pada usus seperti: obstruksi usus, kanker kolon, kolitis ulceratif, penyakit Divertikuler akan dilakukan pembedahan yang disebut dengan kolostomi yaitu lubang dibuat dari segmen kolon (asecenden, transversum dan sigmoid). Lubang tersebut ada yang bersifat sementara dan permanen. Kolostomi asenden dan transversum bersifat sementara , sedangkan kolostomi sigmoid bersifat permanen.

Kolostomi yang bersifat sementara akan dilakukan penutupan .

Berdasarkan lubang kolostomi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Single barreled stoma, yaitu dibuat dari bagian proksimal usus. Segmen distal dapat dibuang atau ditutup.
2. Double barreled, biasanya meliputi kolon transversum. Kedua ujung dari kolon yang direksesi dikeluarkan melalui dinding abdominal mengakibatkan dua stoma. Stoma distal hanya mengalirkan mukus dan stoma proksimal mengalirkan feses.
3. Kolostomi lop-lop, yaitu kolon transversum dikeluarkan melalui dinding abdomen dan diikat ditempat dengan glass rod. Kemudian 5-10 hari usus membentuk adesi pada dinding abdomen, lubang dibuat di permukaan terpajan dari usus dengan menggunakan pemotong.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada klien dengan post kolostomi:
- Irigasi diperlukan untuk mengatur defekasi
- Pembersihan usus diperlukan sebelum pemeriksaan kontras barium saluran GI.

Rencana Keperawatan terintegrasi:
1. Perawatan pascaoperasi
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
3. Terapi intra vena
4. Imobilitas
5. Nyeri.


Pengkajian Data Dasar
1. Pemeriksaan fisik terhadap daerah penutupan kolostomi:
- Keadaan luka: tanda kemerahan, pengeluaran cairan
- Adanya pembengkakan dan menutup sempurna
2. Pemeriksaan daerah rektum:
- Pengeluaran feses
4. Kecemasan
5. Nyeri
Diangosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan perlukaan skunder operasi penutupan kolostomi
2. Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap disfungsi rektum
3. Resiko tinggi terhadap komplikasi : infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan .

Intervensi

Diagonsa: Nyeri berhubungan dengan perlukaan skunder operasi penutupan kolostomi

Tanda-tanda
Subyektif:
- Mengungkapkan ketidaknyamanan, dan nyeri daerah perut.
Obyektif:
- Merintih, menangis
- Melindungi sisi nyeri.
- Nadi meningkat
Kriteria evaluasi:
- Mengungkapkan tidak ada nyeri
- Tidak merintih, menangis
- Ekspresi wajah rileks

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji keluhan dan derajat nyeri



2. Motivasi untuk melakukan teknik pengaturan nafas dan mengalihkan perhatian

3. Hindari sentuhan seminimsl mungkin untuk mengurangi rangsangan nyeri

4. Pertahankan puasa

4. Berikan analgetik sesuai dengan program medis. Untuk mengetahui sifat dan tingkat nyeri sehingga memudahkan dalan memberi tindakan.

Relaksasi dan retraksi dapat mengurangi rangsangan nyeri


Sentuhan dapat meningkatkan rangsangan nyeri

Untuk mengistirahatkan usus.

Analgesik membantu memblok jaras nyeri.

Diagnosa : Cemas berhubungan dengan ancaman disfungsi rektum
Tanda-tanda:
Subyektif:
- Mengeluh takut kalau anusnya tidak bisa berfungsi normal
- Melaporkan perasaan gugup
Obyektif:
- Ekspresi wajah tegang
- Nadi meningkat.
Kritria evaluasi:
- Ekspresi wajah rileks
- Cemas dan gugup berkurang
- Mengungkapkan pemahaman tentang proses pemulihan fungsi rektum.

INTERVENSI RASIONAL
1. Jelaskan proses pemulihan fungsi anus secara bertahap dan butuh waktu agak lama.
2. Lakukan pendekatan dengan tenang dan berikann dorongan urtuk bertanya.
3. Libatkan keluargan dalam setiap tindakan. Pemahaman dapat mengurangi kecemasan


Dengan kondisi tenang akan lebih memudahakan pemahaman.

Dengan keterlibatan keluarga akan memberi perhatian yang lebih bagi klien.


Diagnosa : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan daerah abdomen

Tanda-tanda
Subyektif:
- Mengeluh deman
- Mengekuh nyeri
- Mengeluh kaku
Obyektif:
- SDP > 10.000/mm3
- Suhu > 37,2
Kriteria evaluasi:
- Suhu < 37,2
- SDP < 10.000/mm3
- Tidak terdapat tanda-tanda radang: panas, kemerahan, bengkak, kekakuan daerah perut.

INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau hasil:
- Hasil SDP
- Suhu tiap 4 jam

2. Implementasikan tindakan untuk mencegah infeksi:
- Rawat luka dengan teknik steril
- Tingkatkan intake cairan 2-3 liter/hari
- Tingkatan nutrisi dengan diet TKTP
- Gunakan pelunak feses bila terdapat konstipasi.

3. Berikan antibiotika sesuai program medis.

4. Pantau tanda-tanda radang: panas, merah, bengkak, nyeri, kekakuan. Untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan dan penyimpangan dari hasil yang diharapkan



Teknik steril untuk pencegahan pemindahan kuman. Dan cairan untuk memperlancar pengeluaran . Sedangkan nutrisi untuk meningkatkan ketahanan tubuh dan mempercepat pertumbuhan jaringan.



Antibiotika untuk menghambat dan membunuh kuman patogen.

Untuk mengetahui secara dini terjadinya infeksi.

COMMON NERVOUS SYSTEM PROBLEMS IN THE ELDERLY

Delirium, dementia, and severe memory loss are NOT normal processes of aging. They can, however, becaused by degenerative brain disorders such as Alzheimer's disease.

Illnesses unrelated to the brain can also cause significant changes in thinking and behavior. For example, almost any infection can cause an older person to become severely confused. Another common cause of temporary difficulties with thinking and behaviour is the dysregulation of glucose and metabolism in patients with diabetes. Fluctuations in glucose levels can cause thinking disturbances.

Significant changes in memory, thought, or ability to perform a task should be discussed with your health care provider, especially if these symptoms occur suddenly or along with other symptoms. A change in thinking, memory, or behavior is considered important if is noticeably different from previous patterns, or if it affects lifestyle.

PREVENTION

There is some evidence that continued physical and mental activity helps to keep cognitive abilities such as thinking and reasoning sharp. Reading, doing crossword puzzles, and engaging in stimulating conversations -- as well as ordinary physical exercise -- may all help to keep your brain as sharp as possible.
Aging changes in the senses

Definition

Aging changes in the senses are perceptual changes related to growing older.
Information

When you age, the way your senses (taste, smell, touch, vision, and hearing) are able to give you information about the world changes. Your senses become less acute, and you may have trouble distinguishing details.

Sensory changes can have a tremendous impact on your lifestyle. You may have problems with communication, enjoyment of activities, and social interactions. Sensory changes can contribute to a sense of isolation.

All of the senses receive information of some type from the environment (light, sound vibrations, and so on). This is converted to a nerve impulse and carried to the brain, where it is interpreted into a meaningful sensation.

Everyone requires a certain minimum amount of stimulation before a sensation is perceived. This minimum level is called the threshold. Aging increases this threshold, so the amount of sensory input needed to be aware of the sensation becomes greater. Changes in the body part related to the sensation account for most of the other sensation changes.

Hearing and vision changes are the most dramatic, but all senses can be affected by aging. Fortunately, many of the aging changes in the senses can be compensated for with equipment such as glasses and hearing aids or by minor changes in lifestyle.

HEARING

Your ears have two jobs. One is hearing and the other is maintaining balance. Hearing occurs after vibrations cross the eardrum to the inner ear. They are changed into nerve impulses and carried to the brain by the auditory nerve.

Balance (equilibrium) is controlled in a portion of the inner ear. Fluid and small hairs in the semicircular canal (labyrinth) stimulate the nerve that helps the brain maintain balance.

As you age, your ear structures deteriorate. The eardrum often thickens and the inner ear bones and other structures are affected. It often becomes increasingly difficult to maintain balance.

Hearing may decline slightly, especially that of high-frequency sounds, particularly in people who have been exposed to a lot of noise when younger. This age-related hearing loss is called presbycusis.

The sharpness (acuity) of hearing may decline slightly beginning about age 50, possibly caused by changes in the auditory nerve. In addition, the brain may have a slightly decreased ability to process or translate sounds into meaningful information. Impacted ear wax is another cause of trouble hearing and is more common with increasing age. Impacted ear wax may be removed in your doctor's office.

Some hearing loss is almost inevitable. It is estimated that 30% of all people over 65 have significant hearing impairment.

Conductive hearing loss occurs when sound has problems getting through the external and middle ear. Surgery or a hearing aid may be helpful for this type of hearing loss, depending on the specific cause.

Sensorineural hearing loss involves damage to the inner ear, auditory nerve, or the brain. This type of hearing loss may or may not respond to treatment.

Persistent, abnormal ear noise (tinnitus) is another fairly common hearing problem, especially for older adults.

VISION

Vision occurs when light is processed by your eye and interpreted by your brain. Light passes through the transparent eye surface (cornea).

Your pupil is an opening to the eye interior. It becomes larger or smaller to regulate the amount of light that enters your eye. The colored portion (iris) is a muscle that controls the pupil size.

The inside of your eye is filled with a gel-like fluid. There is a flexible, transparent lens that focuses light on your retina (the back of the eye). Your retina converts light energy into a nerve impulse that is carried to the brain and
Some age-related eye changes may begin as early as your 30s. Aging eyes produce less tears. Dry eyes can be quite uncomfortable. Many people find relief by using eyedrops or artificial tears solutions.

All of the eye structures change with aging. The cornea becomes less sensitive, so injuries may not be noticed. By the time you turn 60, your pupils decrease to about one-third of the size they were when you were 20.

The pupil may also react more slowly in response to darkness or bright light. The lens becomes yellowed, less flexible, and slightly cloudy. The fat pads supporting the eye decrease and the eye sinks back into the socket. The eye muscles become less able to fully rotate the eye.

As you age, the sharpness of your vision (visual acuity) may gradually decline. Glasses or contact lenses may help correct age-related vision changes. You may eventually need bifocals.

Almost everyone older than 55 needs glasses at least part of the time. However, the amount of change is not universal. Only 15% to 20% of older people have bad enough vision to impair driving ability, and only 5% become unable to read. The most common problem is difficulty focusing the eyes (a condition called presbyopia).

You may be less able to tolerate glare, and you may find that you have more trouble adapting to darkness or bright light. Many older people find that although their vision is good enough to drive during the day, they must give up night driving because of problems with glare, brightness, and darkness. Significant difficulty with night driving may be the first sign of a cataract (a clouding of the eye lens).

Indoor glare, such as glare from a shiny floor in a sunlit room, can also make it difficult to get around inside.

For people of all ages, it is harder to distinguish blues and greens than it is to distinguish reds and yellows. This becomes even more pronounced with aging. As your age increases, using warm contrasting colors (yellow, orange, and red) in your home can improve your ability to tell where things are and makes it easier to perform daily activities.

Many older people find that keeping a red light on in darkened rooms (such as the hallway or bathroom) makes it easier to see than using a "regular" night light. Red light produces less glare than a regular incandescent bulb.

With aging, the fluid inside your eye may change. Small particles can create "floaters" in your vision. Although annoying, floaters oftentimes do not indicate a dangerous condition and usually do not reduce vision. If you suddenly develop floaters or experience a rapid increase in the number of them, you should definitely have your eyes checked by a professional.

When your eyes are examined, you may not be able to move your eye in all directions. Your upward gaze may be limited. The area in which objects can be seen (visual field) gets smaller.

Reduced peripheral vision is common and can limit social interaction and activity. Older people may not communicate with people sitting next to them because they cannot see them well -- or perhaps at all. Food and drinks may be spilled. Driving can become dangerous.

Common eye disorders in the elderly (changes that are NOT normal) include cataracts, glaucoma, senile macular degeneration, and diabetic and hypertensive retinopathy.

TASTE AND SMELL

The senses of taste and smell interact closely, helping you appreciate food. Most taste really comes from odors. The sense of smell begins at nerve receptors high in the membranes of the nose.

You have approximately 9,000 taste buds. Your taste buds are primarily responsible for sensing sweet, salty, sour, and bitter tastes.

Smell (and to a lesser extent, taste) also play a role in both safety and enjoyment. We detect certain dangers, such as spoiled food, noxious gases, and smoke with taste and smell. A delicious meal or pleasant aroma can improve social interaction and enjoyment of life.

The number of taste buds decreases beginning at about age 40 to 50 in women and at 50 to 60 in men. Each remaining taste bud also begins to atrophy (lose mass). The sensitivity to the four taste sensations does not seem to decrease until after age 60, if at all. If taste sensation is lost, usually salty and sweet tastes are lost first, with bitter and sour tastes lasting slightly longer.

Additionally, your mouth produces less saliva as you age. This causes dry mouth, which can make swallowing more difficult. It also makes digestion slightly less efficient and can increase dental problems.

The sense of smell may diminish, especially after age 70. This may be related to loss of nerve endings in the nose.

Studies about the cause of decreased sense of taste and smell with aging have conflicting results. Some studies have indicated that normal aging by itself produces very little change in taste and smell. Rather, changes may be related to diseases, smoking, and environmental exposures over a lifetime.

Regardless of the cause, decreased taste and smell can lessen your interest and enjoyment in eating. Some people become less aware of personal hygiene when the sense of smell is decreased. Enjoyment of your environment may be diminished.

Sometimes changes in the way food is prepared, such as a change in the spices used, may help.

For some people, there is an increased risk of asphyxia because they cannot detect the odor of natural gas from the stove, furnace or other appliance. A visual gas detector that changes appearance when natural gas is present may be helpful.

TOUCH, VIBRATION, AND PAIN

The sense of touch also includes awareness of vibrations and pain. The skin, muscles, tendons, joints, and internal organs have receptors that detect touch, temperature, or pain.

Your brain interprets the type and amount of touch sensation. It also interprets the sensation as pleasant (such as being comfortably warm), unpleasant (such as being very hot) or neutral (such as being aware that you are touching something).

Medications, brain surgery, problems in the brain, confusion, and nerve damage from trauma or chronic diseases such as diabetes can change this interpretation without changing awareness of the sensation. For example, you may feel and recognize a painful sensation, but it does not bother you.

Some of the receptors give the brain information about the position and condition of internal organs. Even though you may not be consciously aware of this information, it helps to identify changes (for example, the pain of appendicitis).

Many studies have shown that with aging, you may have reduced or changed sensations of pain, vibration, cold, heat, pressure, and touch. It is hard to tell whether these changes are related to aging itself or to the disorders that occur more often in the elderly.

It may be that some of the normal changes of aging are caused by decreased blood flow to the touch receptors or to the brain and spinal cord. Minor dietary deficiencies, such as decreased thiamine levels, may also be a cause of changes.

Regardless of the cause, many people experience changes in the touch-related sensations as they age. You may find it harder, for example, to tell the difference between cool and cold. Decreased temperature sensitivity increases the risk of injuries such as frostbite, hypothermia, and burns.

Reduced ability to detect vibration, touch, and pressure increases the risk of injuries, including pressure ulcers. After age 50, many people have reduced sensitivity to pain. You may develop problems with walking because of reduced ability to perceive where your body is in relation to the floor.

Fine touch may decrease. However, some people develop an increased sensitivity to light touch because of thinner skin (especially people older than 70).

To increase safety, make allowances for changes in touch-related sensations:
Limit the maximum water temperature in your house (there is an adjustment on the water heater) to reduce the risk of burns.
Look at the thermometer to decide how to dress rather than waiting until you feel overheated or chilled.
Inspect your skin (especially your feet) for injuries, and if you find an injury, treat it. Don't assume that just because an area is not painful, the injury is not significant.

SEX EDUKASI

Oleh karena itu, pendidikan seks di sekolah merupakan komplemen dari pendidikan seks di rumah. Hal ini pernah ditegaskan oleh Pusat Kehidupan Keluarga di USA (Killander, 1971). Peran sekolah dalam memberikan pendidikan seks harus dipahami sebagai pelengkap pengetahuan dari rumah dan institusi lain yang berupaya keras untuk mendidik anak-anak tentang seksualitas dan bukan berarti bahwa sekolah mengambil porsi orang tua (Killander, 1971; Tukan,1992).
Tujuan pendidikan seks di sekolah seperti yang diungkapkan oleh Federasi Kehidupan Keluarga Internasinoal ialah:

1. Memahami seksualitas sebagai bagian dari kehidupan yang esensi dan normal.
2. Mengerti perkembangan fisik dan perkembangan emosional manusia.
3. Memahami dan menerima individualitas pola perkembangan pribadi.
4. Memahami kenyataan seksualitas manusia dan reproduksi manusia.
5. Mengkomunikasikan secara efektif tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan seksualitas dan perilaku sosial.
6. Mengetahui konsekuensi secara pribadi dan sosial dari sikap seksual yang tidak bertanggung jawab.
7. Mengembangkan sikap tanggung jawab dalam hubungan interpersonal dan perilaku sosial.
8. Mengenal dan mampu mengambil langkah efektif terhadap penyimpangan perilaku seksual.
9. Merencanakan kemandirian di masa depan, sebuah tempat dalam masyarakat, pernikahan dan kehidupan keluarga.

Bagi guru yang memberikan pendidikan seks, Killander (1971) mengungkapkan bahwa guru mempunyai peran yang besar, yaitu :

1. Membantu menyeleksi sasaran sosialitas dan pribadi yang dapat dicapai oleh anak didik.
2. Membantu siswa untuk menyadari bahwa sarana tersebut sesuai untuk mereka dan membimbing mereka untuk menerimanya sebagai bagian dari hidup.
3. Membimbing mereka untuk memilih aktivitas-aktivitas dan pengalaman yang baik dalam merencanakan masa depan.

Oleh karena itu, Flake-Hobson (Joice, 1996) menyatakan bahwa pendidikan seks di sekolah harus meliputi pengajaran antara lain:

1. Mengizinkan anak untuk berperan sesuai dengan jenis kelamin dalam ekspresi mereka, kepribadian mereka dan interaksi mereka dengan teman-temannya di kelas.
2. Mengajak siswa untuk berdiskusi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan sopan santun terhadap lawan jenis.
3. Memperkenalkan siswa terhadap perkembangan peran seks. Misalnya seorang perempuan akan menjadi siswa yang berstatus ibu rumah tangga atau isteri.
4. Menyediakan alat-alat audio visual (pandang dengar - red) mengenai perkembangan peran seks kepada siswa dan mengajak mereka untuk berdiskusi.
5. Memperkenalkan siswa kepada bermacam-macam peran seks antara laki-laki dan perempuan.

Tukan (1993) menguraikan materi pendidikan seks di sekolah sebagai berikut:
Siswa SD kelas 5 dan 6

Tentang ciri seksualitas primer dan sekunder seorang pria, proses terjadinya mimpi basah, menjaga kebersihan kelamin, memakai bahasa yang baik dan benar tentang seks, kepribadian seorang siswa.
Siswi kelas 5 dan 6

Tentang ciri seksualitas primer dan sekunder seorang wanita, proses terjadinya ovulasi dan menstruasi, keterbukaan pada orang tua, serta pendidikan dan kepribadian wanita.
Siswa SLTPK kelas 2 dan 3

Memperluas apa yang telah dibicarakan di SD kelas 5 dan 6, yakni identitas remaja, pergaulan, dari mana kau berasal, proses melahirkan, dan tanggung jawab moral dalam pergaulan.
Siswa SLTA kelas 1 dan 2

Mendalami lagi apa yang telah diberikan di SD dan SLTP yakni secara psikologi pria dan wanita, paham keluarga secara sosiologi, masalah pacaran dan tunangan, komunikasi, pilihan cara hidup menikah atau membujang, pergaulan pria dan wanita, tubuh manusia yang bermakna, penilaian etis yang bertanggung jawab sekitar masalah-masalah seksual dan perkawinan.

Dengan demikian, peranan sekolah dalam memberikan pendidikan seks merupakan suatu tanggung jawab moral bagi perkembangan anak didik. Peranan sekolah harus dimengerti bahwa sekolah merupakan suatu institusi yang bersifat komplementer dan membantu orang tua dalam memperlancar tugas dan peranan orang tua terutama dalam menanamkan sikap dan perilaku seksual anak terhadap hakikat seksuaitas manusia.

Pendidikan seks haruslah dipandang sebagi suatu proses pengalihan nilai-nilai tentang seks yang benar yang didapat anak sebagai bimbingan, teladan dan kepedulian para orang tua dan pendidik dalam membantu anak membangun sikap batin yang sesuai dengan kodrat manusia, tidak hanya akal budi tetapi juga hati nurani. Pendidikan seks juga mempunyai fungsi memberikan landasan dalam membangun suatu hubungan yang objektif dan wajar antara anak dengan tubuhnya.
Pendidikan seks mempunyai ruang pembahasan yang luas dan komplek. Pendidikan seks bukan hanya mengenai penerangan seks dalam arti Heterosexsual (seorang yang mempunyai keinginan seks hanya pada lawan jenisnya), dan bukan semata-mata menyangkut masalah biologis atau fisiologis, melainkan juga meliputi psikologi, sosio-kultural, agama dan kesehatan.
Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex instruction dan education in sexuality. sex instruction ialah penerangan mengenai anatomi, seperti tumbuhnya rambut pada ketiak dan sekitar alat kelamin, dan mengenai biologi dari reproduksi, yaitu proses berkembang biak melalui hubungan kelamin untuk mempertahankan jenisnya. Termasuk didalamnya pembinaan keluarga dan metode kontrasepsi dalam mencegah terjadinya kehamilan.
Adapun education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral, ekonomi, dan pengetahuan lainnya yang dibutuhkan agar seseorang dapat memahami dirinya sendiri sebagai individual seksual, serta mengadakan hubungan interpersonal yang baik. Sex intruction tanpa educational in sexuality dapat menyebabkan promiscuty (pergaulan dengan siapa saja) serta hubungan seks yang menyimpang.
Apa itu Pendidikan Seks

Ada banyak pengertian tentang apa itu pendidikan seks, tergantung sudut pandang yang dipakai. Menurut Dr. abdullah Nashih Ulwan pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak, sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri dan perkawinan. Sehingga jika anak telah dewasa akan dapat mengetahui masalah-masalah yang diharamkan dan dihalalkan. Bahkan mampu menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlak, kebiasaan, dan tidak akan memenuhi naluri seksualnya dengan cara-cara yang tidak Islami.

Pendidikan seks di dalam Islam, merupakan bagian integral dari pendidikan aqidah, akhlak dan ibadah. Terlepasnya pendidikan seks dengan ketiga unsur itu, akan menyebabkan ketidakjelasan arah dari pendidikan seks itu sendiri. Bahkan mungkin, akan menimbulkan kesesatan dan penyimpangan dari tujuan asal manusia melakukan kegiatan seksual dalam rangka pengabdian kepada Allah. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan seks harus tidak menyimpang dari tuntutan syariat Islam. Jadi, pendidikan seks dapat diberikan kepada anak, manakala berisi pengajaran-pengajaran yang mampu mendidik anak, sehingga lebih mengimani, mencitai, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Siapa Yang Bertanggung Jawab?

Orang tua manapun tentu selalu menginginkan anaknya menjadi anak yang baik. Anak adalah generasi yang diciptakan untuk kehidupan masa depan. Maka sepantasnyalah orang tua memberikan bekal berupa pendidikan yang menyeluruh, termasuk pendidikan seks. Orang tua dituntut memiliki kepekaan, ketrampilan dan pemahaman agar mampu memberi informasi dalam porsi tertentu, yang justru tidak membuat anak semakin bingung atau penasaran. Orang tua adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap anak dalam masalah pendidikan, termasuk pendidikan seks. Jadi dalam hal ini sesungguhnya tidak mutlak diperlukan adanya kurikulum khusus tentang hal ini di sekolah-sekolah.

Pokok-Pokok Pendidikan Seks Perspektif Islam

Diantara pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan kepada anak adalah:

1. Menanamkan rasa malu pada anak

Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak walau masih kecil bertelanjang di depan orang lain. Misalnya ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian dan sebagainya. Membiasakan anak sejak kecil berbusana muslimah menutup aurat juga penting untuk menanamkan rasa malu, sekaligus mengajarkan pada anak tentang aurat.

2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan.

Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan yang mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah. Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi yang kelak akan diperankannya. Mengingat perbedaan tersebut, maka Islam telah memberikan tuntunan agar masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga. Islam menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, dan perempuan memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari kecil anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Dan perlakukan mereka sesuai dengan jenis kelaminnya juga.

"Dari Ibnu Abbas ra berkata: "Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang berlagak wanita, dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. Dalam riwayat yang lain: "Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang meniru wanita dan wanita yang meniru laki-laki". (HR. Bukhari).

3. Memisahkan tempat tidur

Usia antara 7 hingga 10 tahun merupakan usia dimana anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berfikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Bila pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orang tuanya, maka setidaknya anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orang tuanya. Bila pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang beda jenis kelamin, maka secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.

4. Mengenalkan waktu berkunjung (meminta ijin dalam 3 waktu)

Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta ijin terlebih dahulu adalah, sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat diantara ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat. Yakni waktu dimana badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka. Bila pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak, maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan santun dan etika yang luhur.

5. Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin

Mengajarkan anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajarkan pada anak tentang najis. Juga harus dibiasakan anak untuk buang air pada tempatnya (toilet training). Dengan cara ini akan terbentuk pada diri anak sikap hati-hati, mandiri, mencintai kebersihan, mampu menguasai diri, disiplin, dan sikap moral yang memperhatikan tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat.

6. Mengenalkan mahramnya

Tidak semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan, telah ditentukan oleh syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati. Dengan memahami kedudukan perempuan yang menjadi mahram, diupayakan agar anak mampu menjaga pergaulan sehari-harinya dengan selain wanita yang bukan mahramnya. Inilah salah satu bagian terpenting dikenalkannya kedudukan orang-orang yang haram dinikahi dalam pendidikan seks anak. Dengan demikian dapat diketahui dengan tegas bahwa Islam mengharamkan incest, yaitu pernikahan yang dilakukan antara saudara kandung atau mahramnya. Siapa saja mahram tersebut, Allah SWT telah menjelaskan dalam Surat An-Nisa':22-23.

7. Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata

Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Begitu pula dengan mata yang dibiarkan melihat gambar-gambar atau film yang mengandung unsur pornografi. Jauhkan anak-anak dari gambar, film, bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.

8. Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilat

Ikhtilat adalah bercampur baurnya antara laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa keperluan yang keperluan yang dibolehkan oleh syariat Islam. Perbuatan semacam ini pada masa sekarang sudah dinggap biasa. Mereka bebas mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan. Seolah tidak ada lagi batas yang ditentukan syara' guna mengatur interaksi diantara mereka. Dilarang ikhtilat, karena interaksi semacam ini bisa sebagai perantara kepada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Bila ikhtilat dibiarkan, maka pintu-pintu kemaksiatanpun akan terbuka lebar. Dan akan membawa dampak kepada kerusakan kehidupan manusia. Jangan biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas.

9. Mendidik anak agar tidak melakukan khalwat

Dinamakan khalwat apabila seorang laki-laki dan wanita bukan mahramnya, berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Dan biasanya memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sebagaimana ikhtilat, khalwatpun merupakan perantara bagi terjadinya perbuatan zina. Anak-anak sejak kecil harus diajarkan untuk menghindari perbuatan semacam ini. Bila bermain, bermainlah dengan sesama jenis. Bila dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk tidak berkhalwat.

10. Mendidik etika berhias

Berhias, jika tidak diatur secara Islami akan menjerumuskan seseorang pada perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Tujuan pendidikan seks dalam kaitannya dengan etika berhias agar berhias tidak untuk perbuatan maksyiyat.

11. Ihtilam dan haid

Ihtilam adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia baligh. Sedang haid dialami oleh anak perempuan. Mengenalkan anak tentang ihtilam dan haid tidak hanya sekedar untuk bisa memahami anak dari pendekatan fisiologis dan psikologis semata. Apabila terjadi ihtilam dan haid Islam telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan masalah tersebut. Antara lain misalnya kewajiban untuk melakukan mandi. Dan yang paling penting, ditekankan bahwa kini mereka telah menjadi muslim dan muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariah. Artinya mereka harus diarahkan menjadi manusia yang bertanggungjawab atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat.
Definisi pendidikan Seks
Baiklah kita mulai dengan definisi pendidikan seks. Terdapat bermacam-macam definisi Pendidikan seks, yaitu:
• Pendidikan seks di negara-negara sekuler menitik beratkan pada perilaku seks yang aman dan sehat dan tak mengajari anak-anak tentang menghindari seks bebas, sehingga tidak bisa mengurangi timbulnya penyakit menular seksual (PMS) dan kehamilan pra nikah (Majalah Nikah, Vol 3, No. 5 hal. 73-75)
• Pendidikan seks adalah perlakuan sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menurut agama dan yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Intinya pendidikan seks tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama (DR. Arief Rahman Hakim dan Drs. Fakhrudin-SMU Lab School Jakarta).
• Pendidikan seks menurut Islam adalah upaya pengajaran dan penerapan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga anak dari kebiasaan yang tidak islami serta menutup segala kemungkinan kearah hubungan seksual terlarang (zina) (Muhammad Sa’id Mursi

Pada makalah ini saya membatasi pembahasan pendidikan seks yang sesuai definisi terakhir yaitu melatih umat Islam, terutama anak anak dan remaja agar menyadari bahwa kebutuhan atau kegiatan seksual perlu dipenuhi secara baik dan halal.

Pendidikan Seks Berdasarkan Usia
Pertanyaan selanjutnya adalah sejak kapan pendidikan seks dapat diberikan? Sesungguhnya tidak ada batasan, menurut sebagian ahli dalam pendidikan seks, pendidikan seks dapat mulai diberikan ketika anak mulai bertanya tentang seks dan kelengkapan jawaban bisa diberikan sesuai dengan seberapa jauh keingintahuan mereka dan tahapan umur sang anak.
Menurut Muhammad Sa’id Mursi, pendidikan seks dapat dimulai sejak dini, karena pendidikan seks tidak hanya mencakup pada pertanyaan dan jawaban belaka. Contoh teladan, pembiasaan akhlak yang baik, penghargaan terhadap anggota tubuh, menanamkan rasa malu bila aurat terlihat orang lain ataupun malu melihat aurat orang lain dan lain sebaginya juga termasuk pendidikan seks bagi anak-anak perlu ditanamkan dalam diri anak sejak dini, misalnya:
• Memisahkan tempat tidur antara anak perempuan dan laki-laki pada umur 10 tahun.
• Mengajarkan mereka meminta izin ketika memasuki kamar orangtuanya. Terutama dalam tiga waktu: sebelum shalat fajar, waktu Zhuhur dan setelah shalat Isya (QS. 24 : 58-59).

Namun ada juga sebagian ahli yang mengklasifikasikan perkembangan anak dalam beberapa fase, yaitu:
Fase pertama atau Tamyiz (masa pra pubertas). Fase ini ada pada usia antara 7–10 tahun. Pada tahap ini diajarkan mengenali identitas diri berkaitan erat dengan organ biologis mereka serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini juga anak diberi pelajaran tentang meminta izin dan memandang sesuatu ketika akan memasuki kamar orangtuanya.
Fase kedua atau Murahaqah (pubertas), ada pada usia 10-14 tahun. Pada tahap umur ini, anak harus diberikan penjelasan mengenai fungsi biologis secara ilmiah, batas aurat, kesopanan, akhlak pergaulan laki-laki dan menjaga kesopanan serta harga diri. Pada masa ini anak sebaiknya dijauhkan dari berbagai rangsangan seksual, seperti bioskop, buku-buku porno, buku-buku yang memperlihatkan perempuan-perempuan yang berpakaian mini dan sebagainya.
Fase ketiga atau Bulugh (Masa Adolesen), pada usia 14-16 tahun. Pada tahap ini adalah paling kritis dan penting, karena naluri ingin tahu dalam diri anak semakin meningkat ditambah dengan tahapan umur yang semakin menampakkan kematangan berfikir. Pada masa ini juga anak sudah siap menikah (ditandai dengan mulai berfungsinya alat-alat reproduksi), maka anak bisa diberi pelajaran tentang etika hubungan seksual.
Fase keempat (masa pemuda), setelah masa andolesen, pada masa ini anak diberi pelajaran tentang etika isti’faaf (menjaga diri) jika belum mampu melaksanakan pernikahan.
Fase kelima (analisa).

Sedangkan menurut Clara Kriswanto pendidikan seks berdasarkan usia sebagai berikut:
Usia 0-5 tahun
• Bantu anak agar merasa nyaman dengan tubuhnya
• Beri sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih sàyang dari orangtuanya secara tulus.
• Bantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan di depan umum. Contohnya, saat anak selesai mandi harus mengenakan baju di dalam kamar mandi atau di kamarnya. Orangtua harus menanamkan bahwa tidak diperkenankan berlarian usai mandi tanpa busana. Anak harus tahu bahwa ada hal-hal pribadi dari tubuhnya yang tidak sèmua orang boleh lihat apalagi menyentuhnya.
• Ajari anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh pria dan wanita. Jelaskan proses tubuh seperti hamil dan melahirkan dalam kalimat sederhana. Dari sini bisa dijelaskan bagaimana bayi bisa berada dalam kandungan ibu. Tentu saja harus dilihat perkembangan kognitif anak. Yang penting orangtua tidak membohongi anak misalnya dengan mengatakan kalau adik datang dari langit atau dibawa burung. Cobalah memosisikan diri Anda sebagai anak pada usia tersebut. Cukup beritahu hal-hal yang ingin diketahuinya. Jelaskan dengan contoh yang terjadi pada binatang.
• Hindari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya.
• Ajarkan anak untuk mengetahui nama yang benar setiap bagian tubuh dan fungsinya. Katakan vagina untuk alat kelamin wanita dan penis untuk alat kelamin pria ketimbang mengatakan burung atau yang lainnya.
• Bantu anak memahami konsep pribadi dan ajarkan mereka kalau pembicaraan soal seks adalah pribadi.
• Beri dukungan dan suasana kondusif agar anak mau datang kepada orangtua untuk bertanya soal seks
Usia 6-9 tahun
• Tetap menginformasikan masalah seks kepada anak, meski tidak ditanya.
• Jelaskan bahwa setiap keluarga mempunyai nilai-nilai sendiri yang patut dihargai. Seperti nilai untuk menjaga diri sebagai perempuan atau laki-laki serta menghargai lawan jenisnya.
• Berikan informasi mendasar tentang permasalahan seksual
• Beritahukan kepada anak perubahan yang akan terjadi saat mereka menginjak masa pubertas.
Usia 10-12 tahun
• Bantu anak memahami masa pubertas.
• Berikan penjelasan soal menstruasi bagi anak perempuan serta mimpi basah bagi anak laki-laki sebelum mereka mengalaminya. Dengan begitu anak sudah diberi persiapan tentang perubahan yang bakal terjadi pada dirinya.
• Hargai privasi anak.
• Dukung anak untuk melakukan komunikasi terbuka.
• Tekankan kepada anak bahwa proses kematangan seksual setiap individu itu berbeda-beda. Bantu anak untuk memahami bahwa meskipun secara fisik ia sudah dewasa, aspek kognitif dan emosionalnya belum dewasa untuk berhubungan intim.
• Beri pemahaman kepada anak bahwa banyak cara untuk mengekspresikan cinta dan kasih sayang tanpa perlu berhubungan intim.
• Diskusi terbuka dengan anak tentang alat kontrasepsi. Katakan bahwa alat kontrasepsi berguna bagi pasangan suami istri untuk mengatur atau menjarangkan kelahiran.
• Diskusikan tentang perasaan emosional dan seksual.
Usia 13-15 tahun
• Ajarkan tentang nilai keluarga dan agama.
• Ungkapkan kepada anak kalau ada beragam cara untuk mengekspresikan cinta.
• Diskusikan dengan anak tentang faktor-faktor yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan hubungan seks.
Usia 16-18 tahun
• Dukung anak untuk mengambil keputusan sambill memberi informasi berdasarkan apa seharusnya ia mengambil keputusan itu.
• Diskusikan dengan anak tentang perilaku seks yang tidak sehat dan ilegal.

Pentingnya Pendidikan seks bagi remaja
Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Namun jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong usia dewasa. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke dalam kelompok remaja.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang remaja dan pendidikan seks, terutama yang berhubungan perkembangan seks. Ada kesan pada remaja bahwa seks itu menyenangkan, puncak rasa kecintaaan, tidak ada kedukaan, tidak menyakitkan bahkan membahagiakan, sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan. Seks hanya berkisar prilaku seks semata yang disertai birahi, bahkan ada yang beranggapan bahwa gaul atau tidaknya seorang remaja dilihat dari pengalaman seks mereka, sehingga ada opini “seks adalah sesuatu yang menarik dan perlu dicoba“ (dikenal dengan istilah sexpectation).
Pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawab yang ada padanya, halal haram berkaitan dengan organ seks dan panduan menghindari penyimpangan dalam prilaku seksual mereka sejak dini.
Memang masa remaja adalah masa yang sangat didominasi dengan masalah-masalah seks. Remaja juga akan sangat memperhatikan masalah-masalah seks. Banyak remaja yang mengkonsumsi bacaan-bacaan porno, melihat film-film blue dan semakin bertambah ketika mereka berhadapan dengan rangsangan seks seperti suara, pembicaraan, tulisan, foto, sentuhan, film. Bahkan semakin hari semakin bervariatif. Padahal apabila remaja sudah terjatuh dalam kegiatan seks yang haram, maka akibatnya sudah tidak bisa dibayangkan lagi:
1. Hilangnya harga diri bagi remaja laki dan hilangnya keperawanan bagi perempuan.
2. Perasaan berdosa yang mendalam, terkadang berakibat menjadi lemah dan semakin jauh dengan Allah SWT.
3. Perasaan takut hamil.
4. Lemahnya kepercayaan antara dua pihak.
5. Apabila hubungan ini diteruskan, akan menjadi hubungan yang gagal, terlebih bila dikembalikan dengan hukum syari’at.
6. Penghinaan masyarakat terhadap remaja laki-laki dan perempuan, juga kepada keluarganya.
Bagaimana solusinya? DR. Akram Ridho Mursi memberikan solusinya, sebagai berikut:
Pertama, dengan meminimalkan hal-hal yang merangsang, mengekang ledakan-ledakan nafsu dan menguasainya. Sebab, sesungguhnya tuntuntan untuk memenuhi hasrat biologis didorong oleh dua sebab:
• Ekstern, dengan jalan rangsangan. Pada awalnya memori seks dibentuk oleh stimulasi eksternal (bukan persepsi).
• Intern, dengan jalan berpikir dan bertindak.
Kedua, dengan menjaga diri (Isti’faaf). Hal ini merupakan bagian dari proses sebagai berikut:
1. Memahami diri. Dimana remaja putra dan putri memahami tentang jati dirinya. Menyadari akan tugas dan tanggungjawab hidup, mengerti hubungan dirinya dengan lingkungannya, (Al Hajj: 77)
2. Kualitas akhlak. Menyadari batas-batas nilai, tugas masyarakat. Kecil dan besar, komitmen dengan tanggung jawab bersama dalam masyarakat.
3. Kesadaran beragama. Perasaan taqwa dan muroqabah-Nya. Al Alaq: 14.
4. Perasaan damai di rumah. Terbangun dari keterbukaan, cinta kasih, saling memahami diantara sesama anggota keluarga.
5. Pengawasan yang cerdas dari orang tua.
6. Komitmen dengan aturan-aturan Allah SWT dalam berpakaian dan dalam bergaul dengan lawan jenis.
7. Menghindari pergaulan bebas dan mencegah berduaan tanpa mahram.

Apa yang bisa orangtua lakukan agar anak dan remaja tak sungkan berkomunikasi tentang seks ?
1. Ubah cara berpikir anda. Bahwa makna pendidikan seks itu sangat luas, tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan hubungan seksual. Tapi di dalamnya ada perkembangan manusia (termasuk anatomi dan fisiologi organ tubuh, terutama organ reproduksi); hubungan antar manusia (antar keluarga, teman, pacar dan perkawinan); kemampuan personal (termasuk di dalamnya tentang nilai, komunikasi, negosisasi dan pengambilan keputusan); perilaku seksual; kesehatan seksual (meliputi kontrasepsi, pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, aborsi dan kekerasan seksual); serta budaya dan masyarakat (tentang jender, seksualitas dan agama).
2. Mengajarkan tentang pendidikan seks sejak dini. Seperti saat anda mulai mengajari “ini hidung”, atau “ini mulut”, maka pada saat itulah anda mengajarinya “ini penis” atau “ini vulva” . Jangan menggunakan istilah-istilah yang tidak tepat (misalnya “nenen” untuk mengganti kata payudara atau yang lainnya), karena dengan demikian tanpa sengaja kita telah membuat dikotomi, antara organ yang biasa dan organ yang “jorok” atau tabu atau negatif. Karena persepsi tentang bagian tubuh yang keliru akan berdampak negatif bagi anak di masa yang akan datang.
3. Manfaatkan ‘Golden Moments”, misalnya saat sedang menonton teve yang sedang menayangkan kasus perkosaan, saat sedang melakukan aktivitas berdua (masak, membereskan tempat tidur), dan lain-lain.
4. Dengarkan apa yang diucapkan anak dengan sungguh-sungguh, pahami pikiran dan perasaan mereka. Dengan demikian mereka akan merasa diterima, jika sudah merasa diterima, mereka akan membuka diri, percaya dan mudah diajak kerja sama.
5. Jangan menceramahi. Anak umumnya tidak suka diceramahi. Karena pada saat kita menceramahi seseorang, biasanya kita “menempatkan” diri kita lebih tinggi darinya. Bukan dengan cara ini kita bisa berkomunikasi dengan mereka.
6. Gunakan istilah yang tepat, sesuai dengan usianya. Misalnya saja kalau anak anda sudah beranjak remaja, maka gunakanlah bahasa gaul yang biasa digunakan remaja, sehingga anak tidak merasa sungkan menanggapi pembicaraan anda.
7. Gunakan pendekatan agama. Kita harus meyakini bahwa segala masalah dan persoalan di dunia ini harus diselesaikan dengan nilai-nilai agama. Karena nilai-nilai agama tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Anak-anak juga harus diajak mempraktekkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
8. Mulai saat ini juga. Begitu anda membaca artikel ini, mulai susun strategi apa yang akan anda gunakan untuk mulai mengajak anak berbicara. Yang perlu diingat yaitu bahwa anak adalah orang tua di masa yang akan datang, maka dari itu harus kita persiapkan sedemikian rupa agar menjadi generasi yang siap menghadapi masa depan dengan segala rintangannya. Percayalah, bahwa anda merupakan orang yang paling tepat dalam hal ini, dengan mempercayai diri sendiri, anda pun telah memberikan kepercayaan pada anak..